Dewasa ini, title sebagai petani agaknya memang dianggap kurang menarik bagi generasi millenial saat ini. Kategori pahlawan pangan hampir tidak pernah ada yang bersedia memasukkannya di dalam daftar mimpi dan cita-cita mereka. Pertambangan, designer, politikus lebih sering menghiasi lembaran-lembaran impian anak bangsa. Tidak ada yang salah dengan semua impian dan angan-angan mereka, hanya saja predikat yang kini disandang oleh petani yang membuat paradigma dan doktrin bahwa petani adalah kumpulan orang lusuh, golongan rendah, miskin, dan berpendidikan rendah. Padahal kalau kita flashback bagaimana jalan cerita negara ini yang dibangun atas dasar negara agrarais. Negara permadani hijau, bahkan sampai ada yang menciptakan konotasi Tuhan menciptakan bumi Indonesia dengan tersenyum. Tidak ingatkah kalian bahwa Indonesia pernah berjaya menjadi negara yang mampu berswasembada beras pada saat orde baru. Sektor pertanian yang menjadi pondasi perekonomian Indonesia.
Menurunnya popularitas di bidang pertanian di masa ini diperparah dengan desakan masa modernisasi yang identik dengan industrialisasi. Banyak dari lahan pertanian yang kini disulap menjadi gedung pencakar langit maupun pabrik dan perusahaan. Tidak salah dengan selalu mengupgrade teknologi dan perkembangan masa modern saat ini, hanya saja masalah pangan lebih penting karena menyangkut hidup dan matinya seluruh manusia di bumi ini. Tutntutan ekonomi yang membuat arus urbanisasi melesat berujung pada timbulnya permasalahan hampir di seluruh sektor di daerah perkotaan. Pengangguran, kemiskinan, kriminal seakan sudah menjadi predikat tahunan yang disandang oleh perkotaan. Lahan pertanian yang sebenarnya potensial untuk dikelola malah banyak yang ditinggalkan oleh pemiliknya demi mengadu nasib yang ‘katanya’ lebih jelas jika hidup di kota. Dengan berbekal pengetahuan serta skill yang ‘itu-itu’ saja membuat pendatang baru kerap tersisihkan dan terbuang. Fokus pemerintah yang kerap terpusat pada pembangunan sentral industri modern membuat pertanian semakin menurun daya tariknya dimata masyarakat Indonesia.
Permasalahan yang kerap menjadi batu sandungan bagi para petani adalah lemahnya dalam menciptakan bargaining position yang berujung pada jatuhnya hak petani dalam memasarkan produknya. Tengkulak yang pandai memainkan harga membuat petani semakin tidak berdaya. Biaya produksi yang mahal ternyata tidak sebanding dengan harga jual dari panen mereka. Belum lagi ditambah lahan yang dimiliki petani Indonesia relatif kecil sehingga kurang efektif dan efisien dalam mengelolanya. Mengingat pentingnya kontribusi dan peran pertanian di Indonesia, diharuskan adanya terobosan baru yang diharapkan dapat mengentaskan permasalahan dan dapat meningkatkan kesejahteraan petani untuk selanjutnya bisa meningkatkan pemor dari bisnis pertanian itu sendiri. Seakan menjawab permasalahan ini, pemerintah mengesahkan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Salah satu yang menjadi dasar pengesahan RUU ini adalah pemberian perlindungan kepada hak petani dan dapat meningkatkan gairah petani dalam memproduksi pangan di Indonesia.
Satu contoh upaya yang dapat digunakan untuk menyukseskan program tersebut adalah pemberian pinjaman modal atau pemberian kredit modal bagi petani yang hampir sebagian besar mengalami kesulitan di bidang financial. Dengan diberikannya kredit ini tujuannya agar petani tidak lagi mengeluhkan mahalnya input dalam produksi. Lembaga yang memberikan kredit pada petani dapat berupa lembaga yang berbasis bank maupun non bank. Dan salah satu aspek yang terpenting dalam pemberian pinjaman adalah jangan sampai memberatkan bagi petani. Memberatkan dalam artian bisa saja bunga yang diberikan tinggi atau kewajiban dalam memberikan agunan yang bermacam-macam. Pengembalian modal yang sesuai dengan waktu panen tiba. Sehingga ketika jatuh tempo pembayaran, petani dapat mengembalikan modal dengan uang yang didapat dari penjualan panen mereka. Mengingat banyak petani di Indonesia yang kurang begitu paham dengan sistem birokrasi, diharapkan lembaga pemberi kredit bisa memberikan syarat yang tidak terlalu berat. Fakta di lapangan banyak petani yang belum memiliki sertifikat lahan persawahannya dan tidak sedikit yang hanya berstatus sebagai penggarap saja, bukan pemilik lahan. Untuk mengatasi tersebut banyak lembaga yang bersedia meminjamkan modal hanya dengan berbekal fotocopy KTP dan kepastian penggarapan lahan pertanian.
Walaupun sistemnya telah disederhanakan sedemikian rupa, petani sebenarnya mampu mendapatkan kredit yang lebih besar dengan tingkat kepercayaan dari lembaga terkait yang cukup tinggi. Beberapa cara yang mungkin dapat diaplikasikan oleh petani adalah dengan membentuk kelompok tani beranggotakan minimal lima sampai sepuluh orang petani. Hal ini bertujuan agar dapat diberikan bantuan pinjaman yang nominalnya sedikit lebih tinggi dibandingkan ketika meminjam secara individu. Selanjutnya, berkomitmen penuh untuk mengembangkan usaha pertanian. Hal ini agar ketika panen tiba, hasil yang didapatkan optimal, selain bisa untuk mengembalikan modal, hasil panen juga dapat digunakan untuk mengembangkan pertanian pada tahap selanjutnya. Sehingga pihak lembaga perkreditan nantinya akan semakin percaya dan berani memberikan pinjaman yang lebih besar karena mendapatkan jaminan berupa komitmen penuh dari petani dalam memanfaatkan modal yang diberikan. Selanjutnya, mencari lembaga perkreditan yang memiliki bunga relatif kecil dan dapat dijangkau. Dengan mengkalkulasikan antara luas lahan, dan perkiraan hasil panen yang akan didapat, petani harusnya bisa memperkirakan berapa modal yang harus disiapkan dan lembaga mana yang berani memberikan kredit dengan bunga sedikit. Sehingga sebagian dari hasil panen dapat dirasakan dan dialokasikan untuk masa tanam berikutnya.
Nah begitulah beberapa cara atau upaya dalam hal pemberian kredit bagi petani. Dengan berkaca pada tingginya input produksi diharapkan melalui jalan pemberian pinjaman modal dapat memberikan harapan baru dan meningkatkan euforia petani untuk melanjutkan kerja kerasnya dalam memenuhi pangan negara.
Komentar: